Untuk
meningkatkan kepercayaan publik auditor harus memiliki sikap profesionalisme
dan independen. Independensi akuntan public/auditor Profesi akuntan public
adalah profesi yang unik karena dalam menjalankan tugas profesinya seorang
akuntan publik harus bisa menggunakan keahlian profesinya dengan tetap
mempertahankan sikap independensi. Berbeda dengan profesi lainnya yang harus
mentaati perintah atau keinginan pengguna jasa profesi karena fee yang
diberikan, seorang akuntan public justru harus independen dalam melaksanakan
audit dan saat memberikan hasil laporan audit kepada klien meskipun ia dibayar
oleh klien karena hasil laporan audit ini tidak hanya digunakan oleh klien
tetapi juga oleh pengguna laporan keuangan auditan.
Independensi adalah suatu sikap mental yang bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan
oleh pihak lain, tidak tergantung pada orang lain (mulyadi, 2002). Independensi
juga berarti bahwa auditor harus jujur dalam mempertimbangkan fakta sesuai
dengan kenyataannya. Artinya bahwa apabila auditor menemukan adanya kecurangan
dalam laporan keuangan klien maka auditor harus berani mengungkapkannya bebas
dari tekanan klien atau pihak lain yang berkepentingan terhadap laporan
keuangan.
Ada dua sikap
independensi yang harus dimiliki oleh akuntan public/ yaitu :
1. Independensi in fact : yaitu akuntan public/auditor harus jujur dalam
mempertimbangkan fakta yang ada dan dapat bersikap tidak memihak dalam
memberikan pendapat. Sikap independen ini adalah sikap mental yang ada dalam
diri pribadi akuntan public sehingga masyarakat pengguna sulit mengukur apakah
akuntan tersebut jujur atau tidak.
2. Independensi
in appearance/penampilan yaitu masyarakat mendapatkan kesan bahwa akuntan
public bisa memperlihatkan tindakan-tindakan yang independen. Oleh karena itu
akuntan public harus selalu menjaga tindakan dan perbuatannya agar tidak
mempengaruhi kepercayaan masyarakat.
Selain itu ada dua konsep independensi (Abdul Halim, 2003) yaitu berkaitan
dengan independensi dalam diri pribadi auditor secara individual
(practitioner-independence) dan independensi auditor secara bersama-sama dalam
profesi (profession-independence).
Pada
independensi individual auditor dituntut untuk bersikap tidak memihak dan
percaya diri dalam melaksanakan pemeriksaan. Hal ini berarti bahwa selain harus
jujur dan independen, auditor juga bebas/independen dalam memilih teknik dan
prosedur audit, mengemukakan fakta hasil pemeriksaan dan pemberian pendapat dan
rekomendasi yang diberikan. Sedangkan independensi secara profesi lebih
menekankan pada pandangan masyarakat baik masyarakat bisnis atau organisasi
profesi lain terhadap profesi akuntan public.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi independensi auditor tidak dapat dipungkiri bahwa bahwa klien
berusaha agar laporan keuangan yang dibuat oleh klien mendapatkan opini yang
baik oleh auditor. Banyak cara dilakukan agar auditor tidak menemukan kesalahan
dalam penyusunan laporan keuangan bahkan yang lebih parah lagi adalah
kecurangan-kecurangan yang dilakukan tidak dapat dideteksi oleh auditor.
Independensi akuntan public dapat terpengaruh jika akuntan public mempunyai
kepentingan keuangan atau mempunyai hubungan usaha dengan klien yang diaudit.
Menurut Lanvin (1976) dalam Supriyono (1988) independensi auditor dipengaruhi
oleh factor-faktor sebagai berikut :
1. Ikatan
keuangan dan usaha dengan klien
2. Jasa-jasa
lain selain jasa audit yang diberikan klien
3. Lamanya
hubungan kantor akuntan public dengan klien
Sedangkan
menurut Shockley (1981) dalam Supriyono (1988) independensi akuntan public
dipengaruhi oleh factor :
1. Persaingan
antar akuntan public
2. Pemberian
jasa konsultasi manajemen kepada klien
3. Ukuran KAP
4. Lamanya
hubungan antara KAP dengan klien
Dari
factor–faktor yang mempengaruhi independensi tersebut di atas bahwa
independensi dapat dipengaruhi oleh ikatan keuangan dan usaha dengan klien,
jasa-jasa lain yang diberikan auditor selain audit, persaingan antar KAP dan
ukuran KAP. Seluruh factor yang mempengaruhi independensi akuntan public
tersebut adalah ditinjau dari independensi dalam penampilan.
Profesionalisme
Dalam
pengertian umum, seseorang dikatakan profesional jika memenuhi tiga kriteria,
yaitu mempunyai keahlian untuk melaksanakan tugas sesuai dengan melaksanakan
suatu tugas atau profesi dengan menetapkan standar baku di bidang profesi yang
bersangkutan dan menjalankan tugas profesinya dengan mematuhi etika profesi
yang telah ditetapkan. Profesi dan profesionalisme dapat dibedakan secara
konseptual seperti dikemukakan oleh Lekatompessy (2003). Profesi merupakan
jenis pekerjaan yang memenuhi beberapa kriteria,
sedangkan
profesionalisme merupakan suatu atribut individual yang penting tanpa melihat
apakah suatu pekerjaan merupakan suatu profesi atau tidak. Seorang akuntan
publik yang profesional harus memenuhi tanggung jawabnya terhadap masyarakat,
klien termasuk rekan seprofesi untuk berperilaku semestinya.
Kepercayaan
masyarakat terhadap kualitas jasa audit profesional meningkat jika profesi
menetapkan standar kerja dan perilaku yang dapat mengimplementasikan praktik
bisnis yang efektif dan tetap mengupayakan profesionalisme yang tinggi (Jusuf
1997:78–79). Konsep profesionalisme modern dalam melakukan suatu pekerjaan
seperti dikemukakan oleh Lekatompessy (2003), berkaitan dengan dua aspek
penting, yaitu aspek struktural dan aspek sikap. Aspek struktural
karakteristiknya merupakan bagian dari pembentukan tempat pelatihan,
pembentukan asosiasi profesional dan pembentukan kode etik. Sedangkan aspek
sikap berkaitan dengan pembentukan jiwa profesionalisme.
Hastuti dkk.
(2003) menyatakan bahwa profesionalisme menjadi syarat utama bagi orang yang
bekerja sebagai akuntan publik. Gambaran seseorang yang profesional dalam
profesi dicerminkan dalam lima dimensi profesionalisme, yaitu pertama,
pengabdian pada profesi dicerminkan dari dedikasi dengan menggunakan
pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki serta keteguhan untuk tetap
melaksanakan pekerjaan meskipun imbalan ekstrinsik kurang. Sikap ini adalah
ekspresi dari pencurahan diri yang total terhadap pekerjaan. Kedua, kewajiban
sosial adalah suatu pandangan tentang pentingnya peranan profesi serta manfaat
yang diperoleh baik masyarakat maupun kalangan profesional lainnya karena
adanya pekerjaan tersebut. Ketiga, kemandirian dimaksudkan sebagai suatu
pandangan bahwa seorang yang profesional harus mampu membuat keputusan sendiri
tanpa tekanan dari pihak lain (pemerintah, klien dan mereka yang bukan anggota
profesi). Setiap ada campur tangan dari luar dianggap sebagai hambatan
kemandirian secara profesional. Keempat, keyakinan terhadap profesi adalah
suatu keyakinan bahwa yang paling berwenang menilai apakah suatu pekerjaan yang
dilakukan profesional atau tidak adalah rekan sesama profesi, bukan pihak luar
yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan tersebut.
Kelima, hubungan dengan sesama profesi adalah dengan menggunakan ikatan profesi
sebagai acuan, termasuk di dalamnya organisasi formal dan kelompok kolega
informal sebagai ide utama dalam melaksanakan pekerjaan.
Hastuti dkk.
(2003) meneliti tentang hubungan profesionalisme dengan pertimbangan tingkat
materialitas dalam proses pengauditan laporan keuangan dengan menggunakan lima
dimensi mengenai profesionalisme yang sebelumnya telah dikembangkan oleh Hall
(1968). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat profesionalisme mempunyai
hubungan yang signifikan dengan tingkat pertimbangan materialitas. Semakin
tinggi tingkat profesionalisme akuntan publik, semakin baik pula pertimbangan
tingkat materialitasnya.
Upaya Multidimensi Dalam Membangun Kepercayaan Publik
Diskusi panjang mengenai makna dasar kepercayaan publik dalam suatu korporasi
masih saja berkembang di bidang Manajemen. Debat yang terjadi kerapkali bermula
karena adanya pihak yang menganut prinsip linearitas dan hanya menerapkan
pendekatan tunggal dalam memandang fenomena kontekstual yang ada. Padahal,
kepercayaan publik pada dasarnya lebih bersifat multidimensional yang
membutuhkan integrasi pendekatan. Sebagai ilustrasi, pendekatan ekonomis yang
selalu berupaya menempatkan risiko persepsian (perceived risk) sebagai
konsekuensi atas keputusan seseorang dalam menaruh kepercayaan pada orang lain
atau berharap memperoleh kemanfaatan dari interaksi yang dibangunnya. Kalkulasi
terhadap besaran risiko itu lah yang kemudian dipergunakan sebagai basis untuk
menentukan ekspektasi seseorang atas manfaat yang dapat diperoleh dari
keputusan yang diambilnya. Pendekatan semacam ini tidak sepenuhnya bisa
menjawab permasalahan tentang adanya fenomena ketidak-kepercayaan akibat
pergeseran perilaku masyarakat itu sendiri yang terjadi pada skala yang besar.
Sama halnya dengan hal pendekatan psikologi sosial yang menempatkan kepercayaan
sebagai tendensi untuk melakukan pengalihan sesuatu pada pihak lain juga
mengandung keterbatasan terutama dalam hal penilaian terhadap imbas kelembagaan
yang mungkin muncul.
Polemik
mengenai sudut pandang itu lah yang pada gilirannya memunculkan gagasan
perlunya menempuh pendekatan yang terintegratif dan bersifat multidimensi untuk
mengakomodasi keterbatasan pendekatan yang selama ini berkembang. Pendekatan
yang berorientasi pada keluaran (output) sebagai ukuran capaian kinerja
yang terukur dengan standar fisik jelas tidak bisa sepenuhnya mengadomodasi
kepentingan masyarakat yang menempatkan kualitas proses sebagai penentu dalam
membangun interaksi antar sub-sistem untuk mewujudkan kepercayaan publik.
Padahal, kalau dicermati lebih jauh, pendekatan output dan proses itu pada dasarnya
tidak saling meniadakan tetapi justru saling melengkapi. Argumen yang
dikemukakan oleh Mesquita (2007) yang dipublikasikan dalam Academy of
Management Review, Vol. 32., No.1 memperkuat proposisi bahwa pendekatan
terintegratif kini dibutuhkan untuk dapat memahami kompleksitas dan dinamika
membangun kepercayaan publik.
Pada tingkatan
individual, kepercayaan sangat ditentukan pada kecocokan komposisi dari
elemen-elemen dasar pembentuknya yaitu: adanya kemampuan (ability) dan
kompetensi seseorang untuk melakukan tugas-pekerjaan yang diembannya;
kepedulian dan perhatian untuk melakukan sesuatu; dan integritas sesorang
terhadap suatu keputusan yang diambil merupakan hal yang mendasar bagi
pembentukan faktor kepercayaan publik terhadap figur tertentu.Itu pula yang
mendasari mengapa pendekatan multidimesi dirasa menjadi penting maknanya untuk
dapat memahami kompleksitas isu yang berkembang dan mencari alternatif
penyelesaian yang dapat mengakomodasi ragam kepentingan dan mengurangi unsure
subyektifitas dalam memberikan suatu penilaian. Membangun kepercayaan publik
memang agak sulit untuk bisa dipaksakan, tetapi bukan mustahil akan terbentuk
secara natural seperti halnya sebuah tanaman yang difasilitasi untuk tumbuh dan
pada akhirnya berbunga atau berbuah dengan berjalannya waktu. Ketetapan untuk
menerapkan prinsip transparansi mungkin menjadi awal dari proses panjang untuk
mendapatkan kepercayaan publik.